News Update :

Ada Perang Di Dalam Batin

Monday, May 14, 2012

ADA PERANG DALAM BATIN

Senyum mengembang di wajah para guru SD Negeri II Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bila mereka sudah bisa tersenyum, berarti ada sesuatu yang membahagiakan. Sebab, beberapa waktu lalu di bulan September, guru-guru di banyak daerah di Indonesia resah lantaran mereka belum menerima rapel gaji yang dijanjikan pemerintah."Kami bersyukur karena rapel gaji yang dijanjikan itu sudah dibayarkan. Besarnya lumayan sesuai dengan kepangkatan dan golongan," ujar seorang guru yang lebih suka disapa Ibu Ati di ruang kerjanya ketika ia sedang beristirahat bersama beberapa guru lainnya.

Sebagai guru, tuturnya, memang sungkan berbicara terbuka soal kesejahteraan. Sebab, seseorang menjadi guru adalah panggilan. Artinya, tidak semua orang suka memilih profesi ini."Tapi, ketika bangsa kita sudah masuk dalam era keterbukaan, dunia pendidikan sepertinya tidak mendapat perhatian sama sekali," ujarnya. Bahkan, masalah di bidang pendidikan dan persoalan yang dihadapi para guru sama sekali tidak ditengok. "Sebelum guru-guru berunjuk rasa, tahun lalu, kami sering mendiskusikan masalah tersebut. Jadi, guru-guru berunjuk rasa dengan maksud minta perhatian kepada masyarakat dan pemerintah agar lebih serius memperhatikan dunia pendidikan," tamdas Ati.

Seharusnya, menurut dia, ketika bangsa ini hendak menata kembali kehidupan sosial politiknya, benahi pula dunia pendidikannya. Artinya, pendidikan sudah saatnya bisa dengan mudah diperoleh sejak anak-anak, dan profesi guru mendapat penghargaan yang memadai. "Jadi dalam batin guru sebenarnya terjadi semacam perang," ungkapnya.

Dia menilai bahwa salah satu kelemahan pemerintahan Orde Baru adalah tidak menomorsatukan dunia pendidikan. "Tapi itu tidak mudah disampaikan secara terbuka karena pemerintah saat itu tak mudah menerima kritik," ujarnya.

Rasa prihatin paling hanya dinyatakan dengan mengelus dada, dan hal itu sudah dialami sejak memulai karier sebagai guru. Lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1985, yang kini sedang menyelesaikan studi tingkat sarjana keguruan, mengawali kariernya sebagai guru SD di Leuwi- liang, Kabupaten Bogor, pada tahun 1991. Dia tidak pernah membayangkan akan mengajar di sana. "Saya berharap, ketika itu, bisa mengajar di Bandung, Jawa Barat. Sebab, orangtua saya tinggal di kota itu,'' ujarnya. Tapi, semua sekolah di Bandung sudah penuh guru. Dia sempat melihat, di Leuwiliang masih dibutuhkan tenaga guru.

"Saya tidak menjatuhkan minat mengajar ke sana. Ketika itu, saya hanya menyampaikan lamaran untuk menjadi guru ke Pemda. Keputusannya, saya ditempatkan di Leuwiliang," tuturnya. Untuk mencapai tempatnya mengajar, dia harus lima kali berganti angkutan umum. "Gaji saya mengajar di sana Rp 75.000. Sedangkan untuk uang transpor sebesar Rp 5.000 per hari. Jadinya kan saya justru menombok," kenangnya. Tapi, dengan segala kesabaran dan upayanya, dia bisa bertahan selama tiga tahun. "Sebagai guru, saya tertantang untuk mengajar di situ. Kebanyakan murid-murid di SD itu benar-benar tertinggal. Anak-anak bersekolah apa adanya, bahkan banyak yang tak beralas kaki," ujarnya.

Setelah itu, atas permohonannya, ia dipindahkan ke SD Negeri II Bojong Gede. Di situ dia mengajar sebagai guru honorer selama setahun, dan kemudian diangkat menjadi guru dengan status Pengawai Negeri Sipil dengan gaji tetap.

Kini, sudah enam tahun dia mengajar di Bojong Gede. Sebenarnya lingkungan di situ tidak jauh beda dengan di Leuwiliang. Sekolah tempatnya sekarang mengajar terletak tak jauh dari areal persawahan dan dekat lintasan Kereta Rel Listrik Jakarta-Bogor. "Bisa Anda bayangkan, betapa berisiknya ketika KRL itu mondar-mandir pada pagi hari hingga sore hari," kata dia. Soal suara kereta yang bising tersebut, menurut dia, masing-masing guru punya cara untuk mengatasinya. "Kalau saya, kondisi itu tak mungkin dielakkan. Bila sedang menerangkan, kereta lewat, ya saya hentikan sejenak. Makin sering kereta itu lewat, ya berarti semakin banyak istirahat saya," guraunya.

Dengan pengalamannya sudah mengajar di dua tempat, dia mendapat kesan, setiap lingkungan sekolah memiliki kekhasannya. Dengan kekhasannya itu -- yang terjadi karena faktor lingkungan, kondisi masyarakat dan gaya pimpinan sekolah -- tak perlu adanya sekolah favorit dan tak favorit. "Saya menyayangkan masyarakat justru semakin mempertajam hal itu. Seharusnya perjuangkanlah agar sistem pendidikan di negara kita semakin baik," ucapnya. Semua guru di setiap sekolah, termasuk di SD yang letaknya di pelosok sekalipun, berkeinginan anak didiknya pandai.

"Keinginan itu yang tertanam dalam setiap benak guru. Mana ada guru yang berniat membodohi murid-muridnya," kata Ati. Atas dasar keinginan itu, tuturnya, setiap guru berupaya meningkatkan pengetahuan dan wawasannya.

Di tempatnya mengajar, semua guru berupaya meningkatkan pengetahuan dan wawasannya dengan belajar mandiri sebagai mahasiswa Universitas Terbuka. "Kegiatan ini memang diserahkan sepenuhnya kepada para guru untuk memilihnya," jelasnya. Soal biaya, menurut Ati, para guru sendiri yang menanggungnya.

Dia sebenarnya menyayangkan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dihapuskan. "Keberadaan sekolah itu tak bisa disepelekan. Sebab, di situlah lahir para guru yang kelak mengajar di Taman Kanak-kanak (TK), dan SD. Di situ para calon guru dilatih cara mengajar tingkat dasar," tuturnya.

Ati menduga, makin maraknya tawuran pelajar adalah akibat cara mengajar yang salah. Lulusan SMA yang melanjutkan pendidikan ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) belum tentu seterampil lulusan SPG dalam teknik mengajar. "Bila guru salah dalam cara mengajar membuat anak didiknya justru bersikap negatif. Sikap itu semakin tak menguntungkan manakala orangtuanya juga memaksanya harus naik kelas dan lulus hingga SLTA," katanya.

sDi masa mendatang, Ati berharap, pemerintah memprioritas pembangunan bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Anggaran negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, untuk bidang pendidikan sebaiknya dinaikkan bagi pembangunan gedung SD atau peningkatan kualitas gurunya. (Suara Pembaruan 300901)

Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright Berbagi Ilmu Pengetahuan Terbaru 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.