News Update :

Pendidikan dan Bayang-bayang Pedagogi Hitam

Monday, May 14, 2012



Pendidikan dan Bayang-bayang Pedagogi Hitam
DIDAKTIKA



TULISAN Sindhunata (Kompas, 19 Februari 2001) tentang pedagogi hitam, jika tidak dibaca hati-hati dan bijaksana, dapat menimbulkan gambaran yang menyeramkan bagi orangtua terhadap dunia pendidikan.
Memang, saat ini pendidikan di Indonesia belum berjalan seperti yang diinginkan masyarakat. Contoh konkretnya adalah pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK). Meskipun namanya taman kanak-kanak, tempat untuk bermain dan bersuka ria, praktiknya anak-anak TK diajari menulis dan membaca. Bahkan, jika liburan caturwulan tiba, anak TK kecil (A) diberi PR (pekerjaan rumah-Red) menulis abjad a sampai z, sedangkan TK besar (B) les membaca, menulis dan berhitung. Meskipun Depdiknas melarang anak TK diberi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung, secara sembunyi-sembunyi guru TK tetap mengajarkannya. Alasannya, SD hanya mau menerima anak TK yang sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung. Dalam konteks ini, pedagogi hitam rasanya pantas diwaspadai untuk anak TK dan SD.
Seperti diketahui, tugas pendidikan adalah menyediakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Sekolah bukan tempat untuk sekadar mentransfer ilmu dari guru kepada murid, tetapi merupakan masyarakat belajar, sehingga semua event, proses, dan komponen lingkungan menjadi sumber belajar. Murid harus aktif mencari dan membentuk dirinya sendiri, bukan semata-mata disiapkan orang lain.
Pendidikan merupakan pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia. Jadi, jika yang terjadi pendidik adalah subyek dan peserta didik sebagai obyek, maka hal ini jelas mengakibatkan pamasungan kreativitas murid. Namun, untuk mengubah secara drastis sistem pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun itu bukan pekerjaan mudah.
Siswa di Indonesia terbiasa menjadi obyek. Datang ke sekolah, masuk kelas, duduk manis, mendengarkan penjelasan guru, mencatat, menjawab jika diberi pertanyaan, mengerjakan tugas, mengerjakan PR, dan mengerjakan soal-soal ulangan. Mereka terbiasa dicekoki dan disuapi oleh guru, dan jika guru sedikit melepas agar mencari sendiri, mereka akan gelagapan. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup panjang untuk membudayakan pendidikan yang berorientasi pada kemandirian siswa. sehingga mereka tidak melulu bergantung pada sosok guru.
Kurikulum sarat muatan
Disadari atau tidak, kurikulum yang sarat muatan tidak hanya menjadi beban murid, tetapi juga membuat guru stres. Guru memberi banyak materi dan tugas kepada murid karena adanya tuntutan harus menyelesaikan kurikulum yang diwajibkan oleh Depdiknas. Guru diberi target. Belum lagi tugas-tugas administratif, seperti membuat program satuan pengajaran (PSP), rencana pengajaran (RP), mengajar, membuat soal ulangan, mengoreksi hasil ulangan, memberi dan mengoreksi tugas/PR, membuat analisis evaluasi, merata-ratakan nilai ulangan harian, mengisi buku rapor, menjalankan tugas lain seperti menjadi wali kelas, pembina Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), wakil kepala sekolah, guru inti, dan lain sebagainya. Ditambah lagi imbalan jasa yang diterima sampai saat ini masih jauh dari cukup alias kesejahteraan guru masih sangat memprihatinkan.
Pemerintah harus menyediakan perangkat pendidikan dan pengajaran yang memadai. Pemerintah dan DPR harus sepakat untuk meningkatkan anggaran pendidikan. Para orangtua (dituntut) lebih peduli terhadap pendidikan anak-anaknya. Masyarakat luas pun mempunyai tanggung jawab moral terhadap dunia pendidikan. Dalam hal ini guru memegang posisi yang paling strategis dalam upaya peningkatan mutu di bidang pendidikan. Guru akan menjalankan tugasnya dengan tekun, tenang, dan bertanggung jawab penuh jika kesejahteraannya memadai dan terpenuhi. Dengan begitu, tidak akan ada lagi guru yang mengajar sampai tiga sekolah sekaligus hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kalau Kurt Singer mengatakan bahwa pendidikan mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan, itu tidak semuanya benar. Sekolah bukanlah monster yang menakutkan. Sampai saat ini di sekolah-sekolah ada kegiatan lain selain belajar. Misalnya, di SMU, ada kegiatan ekstra kurikuler yang dapat diikuti siswa selepas belajar. Ada olahraga, ada kesenian, ada kegiatan rohani, ada kegiatan pramuka, palang merah remaja, naik gunung, dan sebagainya. Siswa dapat memilih kegiatan ekstra kurikuler itu sesuai dengan bakatnya.
Dengan kegiatan ekstra kurikuler siswa dapat menunjukkan bakat dan kemampuannya, sehingga terjadi keseimbangan antara belajar dengan kegiatan lain di luar belajar. Di hari libur mereka juga dapat refreshing. Kenyataan yang ada di kota-kota besar, tidak hari libur pun banyak siswa yang jalan-jalan di mal sepulang sekolah.
Dengan demikian, pendapat Singer yang mengatakan bahwa sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang mematikan bakat dan gairah untuk belajar terlalu berlebihan. Di sekolah guru adalah manusia biasa yang mempunyai hati dan perasaan; guru yang mengajar di kelas juga orangtua yang mempunyai anak. Kalau guru bertindak tegas, disiplin dan sedikit galak, semua itu dilakukan karena sedang bertugas dan demi kebaikan siswa.
Untuk itulah orangtua wajib memilihkan sekolah yang cocok bagi anak-anaknya. Orangtua pasti mengetahui kemampuan, minat dan bakat anak-anaknya. Kalau anaknya pintar dan cerdas, masukkan ke sekolah unggulan, tempat yang cocok untuk bersaing dan berprestasi. Namun, jika anaknya biasa-biasa saja masukkan ke sekolah yang bukan unggulan. Jangan sampai karena ambisi orangtua anaknya dipaksa masuk ke sekolah unggulan demi gengsi. Akibatnya anak menjadi stres dan tertekan. Jelas ini bukan salah sekolah, tetapi salah orangtua.
Dengan melihat kemampuan anak, bakat, dorongan orangtua, guru yang profesional, tunjangan guru yang memadai, serta perhatian serius dari pemerintah, mudah-mudahan pendidikan di Indonesia akan lebih baik dari sekarang.
(Pudji Isdriani K, guru SMU negeri di Jakarta)
Share this Article on :

0 komentar:

 

© Copyright Berbagi Ilmu Pengetahuan Terbaru 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.