Suku
Mandar dulunya adalah salah satu etnis di Sulawesi Selatan. Namun sejak
pemekaran yang menjadikan wilayah tersebut berdiri sendiri yaitu Provinsi
Sulawesi Barat, Suku atau Etnis Mandar kemudian berdiri sendiri (sumber :
berdasarkan lontarak kerajaan Mandar, bahwa Kerajaan Mandar adalah Kerajaan
Merdeka).
Banyak
tradisi yang ditinggalkan oleh nenek moyang kerajaan Mandar. Namun dari sekian
banyak tradisi tersebut, salah satunya adalah Sayyang Pattuddu’. Sayyang
berasal dari bahasa Mandar yaitu kuda, sedangkan patuddu merupakan istilah yang
bermakna menganggukkan kepala atau bergoyang. Dari makna tersebut menunjukkan
bahwa tradisi ini melibatkan kuda yang bisa bergoyang.
Sayyang
Patuddu’ dilaksanakan sebagai ucapan syukur jika salah satu anak dari Suku
Mandar berhasil menamatkan Al-Quran. Malamnya anak tersebut akan mengikuti
beberapa ritual adat salah satunya memberikan barang-barang yang disukai oleh
guru mengajinya sebagai ucapan tanda terima kasih. Hingga pada akhirnya untuk
keesokan harinya ia akan menaiki kuda yang di arak keliling kampung.
Kuda
yang digunakan bukanlah kuda pada umumnya, namun kuda tersebut dihias dan telah
dilatih khusus untuk bergoyang jika mendengar suara musik rebana. Anak yang
telah tamat mengaji tidak akan menaiki kuda itu sendirian. Ia harus memiliki
pendamping, yaitu seorang gadis yang masih perawan yang kemudian akan
mengenakan baju adat Suku Mandar. Gadis tersebut haruslah berasal dari keturunan
Mara’dia di kampung tersebut.
Sebelum
menaiki kuda yang telah disediakan, para gadis serta anak yang akan ditamatkan
harus mendengar syair pantun Mandar yang dibacakan. Saat naik di atas kuda
gadis yang dipilih sebagai pendamping tidak boleh langsung duduk, namun ia
harus berdiri di atas kuda tanpa berpegang dengan apapun. Dimaksudkan sebagai
tanda bahwa ia telah siap.
Kuda-kuda
yang telah dihiasi tersebut akan berjalan keliling kampung, diiringi musik
rebana yang sangat hiruk pikuk. Secara otomatis kuda tersebut tidak hanya
tinggal diam, ia akan mengikuti musik yang ia dengar dengan
menggeleng-gelengkan kepala mereka.
Pada
zaman dulu, pendamping yang berasal dari gadis di desa tersebut sengaja di arak
keliling kampung, untuk mengumumkan bahwa ada gadis belia yang belum menikah.
Sehingga pemuda dapat melihatnya dan mengirimkan salam pada gadis tersebut.
Tradisi
ini sudah turun temurun di lakukan oleh Suku Mandar. Namun sudah tidak semua
yang melaksanakannya. Sayyang patuddu’ ini masih rutin dilakukan oleh Suku
Mandar yang berada di Desa Mappili dan sekitar kecamatan Mappilli dan
sekitarnya.
0 komentar:
Post a Comment